Malaikat dapat hadir setiap waktu menjumpai aktifitas kita sehari hari. Malaikat dapat mengunjungi kita saat kita asyik makan, saat kita ada di trafik light, saat kita membeli tas kecil untuk cewek cantik kita, saat sedang asyik berkirim SMS Valentine di Bus kota dan saat-saat lain yang tidak pernah kita sangka sebelumnya. Malaikat bukanlah makhluk aneh berpakaian putih dan mempunyai sayap dipunggungnya. Malaikat bukanlah makhluk planet dengan tongkat yang ada bintang diujungnya. Malaikat bukanlah manusia setengah jadi yang kakinya tidak menapak bumi. Malaikat hadir bersama setiap aktifitas dan kesibukan kita sehari-hari. Kesombongan dan keangkuhan hati kitalah yang menyebabkan kita tidak mengenalinya, tidak mendengar suara sapa dan keramahannya, tidak mengenali bentuk muka sebenarnya dari seorang Malaikat. Pengalaman bertemu dengan seorang malaikat setiap hari tidak pernah kita nikmati. Perjumpaan dan kesempatan istimewa itu tidak pernah kita syukuri.
Seorang wanita tua berjalan tertatih dengan baju lusuh seadanya dan terlihat sudah 3 hari baju itu melekat pada tubuhnya tanpa tercuci. Selendang dengan sedikit robekan diujung ia taruh di bahunya yang sudah tidak seksi lagi. Diatas kepalanya nampak dagangan kacang tanah yang masih menumpuk dan dengan suara parau dia menawarkan kacang itu kepada setiap orang yang ada di terminal yang penuh sesak dengan penumpang yang terlihat sok sibuk. "Oh enggak bu" jawab seorang pemuda dengan cuek yang sibuk telpon dengan Handphone terbaru tanpa sinyal yang sedang ditempelkan di telinganya yang mirip telinga kambing jantan sebagai tanda penolakan barang dagangan paling berharga si ibu tua penjual kacang. "Bu tolong jangan berjualan diterminal !" hardik seorang Satpol PP berkumis tebal namun berkantong tipis setipis hati nuraninya. "Kok mahal amat sih bu, apa gak boleh 500 perak nie kacang ?" tawar seorang ibu keturunan china-jawa-arab-padang-ambon kepada ibu penjual kacang dengan jari-jari yang dipenuhi dengan cincin emas imitasi.
"Bu aku beli 5 ikat deh.." tiba-tiba suara paling tidak seirama dengan tiga suara yang sebelumnya aku dengar tadi hadir dari mulut seorang anak muda yang kemungkinan besar mau berangkat kuliah. Penampilannya tidak menampakkan bahwa anak ini dari keluarga berada. Sepatu mek Adidas imitasi dari jalan Praban dia pakai saat itu. Rambutnya acak-acakan dan rokok inter yang mau habis terselip di jarinya. Jaket jeans dengan foto Che Guevara, Pangeran Diponegoro dan Bung Karno terjahit dengan rapi. Agak aneh juga mengingat banyak pemuda yang lebih bangga mengenakan kaos Che Guevara dibanding Pahlawan negaranya sendiri. Namun anak ini memberikan sedikit gambaran bahwa tidak semua pemuda melupakan wajah pahlawan Indonesia. Uang lusuh seribuan lima lembar ia berikan untuk harga 5 ikat kacang tanah dagangan ibu tua tadi.
"Nie mas, kacang dari malaikat" kata anak muda tadi kepadaku yang kebetulan duduk disampingku untuk menunggu bis jurusan Surabaya-Malang sembari menawari aku seikat kacang tanah yang ia beli tadi. Badan ini langsung gemetar mendengar pengakuan pemuda tadi yang sudah asyik menikmati kacang yang ia beli dengan isapan rokok yang masih tersisa sedikit. Ternyata ibu tua penjual kacang tadi seorang Malaikat toh...kesimpulan hati seorang Achiles yang juga tak pernah mengerti sosok Malaikat yang sesungguhnya.
Seorang wanita tua berjalan tertatih dengan baju lusuh seadanya dan terlihat sudah 3 hari baju itu melekat pada tubuhnya tanpa tercuci. Selendang dengan sedikit robekan diujung ia taruh di bahunya yang sudah tidak seksi lagi. Diatas kepalanya nampak dagangan kacang tanah yang masih menumpuk dan dengan suara parau dia menawarkan kacang itu kepada setiap orang yang ada di terminal yang penuh sesak dengan penumpang yang terlihat sok sibuk. "Oh enggak bu" jawab seorang pemuda dengan cuek yang sibuk telpon dengan Handphone terbaru tanpa sinyal yang sedang ditempelkan di telinganya yang mirip telinga kambing jantan sebagai tanda penolakan barang dagangan paling berharga si ibu tua penjual kacang. "Bu tolong jangan berjualan diterminal !" hardik seorang Satpol PP berkumis tebal namun berkantong tipis setipis hati nuraninya. "Kok mahal amat sih bu, apa gak boleh 500 perak nie kacang ?" tawar seorang ibu keturunan china-jawa-arab-padang-ambon kepada ibu penjual kacang dengan jari-jari yang dipenuhi dengan cincin emas imitasi.
"Bu aku beli 5 ikat deh.." tiba-tiba suara paling tidak seirama dengan tiga suara yang sebelumnya aku dengar tadi hadir dari mulut seorang anak muda yang kemungkinan besar mau berangkat kuliah. Penampilannya tidak menampakkan bahwa anak ini dari keluarga berada. Sepatu mek Adidas imitasi dari jalan Praban dia pakai saat itu. Rambutnya acak-acakan dan rokok inter yang mau habis terselip di jarinya. Jaket jeans dengan foto Che Guevara, Pangeran Diponegoro dan Bung Karno terjahit dengan rapi. Agak aneh juga mengingat banyak pemuda yang lebih bangga mengenakan kaos Che Guevara dibanding Pahlawan negaranya sendiri. Namun anak ini memberikan sedikit gambaran bahwa tidak semua pemuda melupakan wajah pahlawan Indonesia. Uang lusuh seribuan lima lembar ia berikan untuk harga 5 ikat kacang tanah dagangan ibu tua tadi.
"Nie mas, kacang dari malaikat" kata anak muda tadi kepadaku yang kebetulan duduk disampingku untuk menunggu bis jurusan Surabaya-Malang sembari menawari aku seikat kacang tanah yang ia beli tadi. Badan ini langsung gemetar mendengar pengakuan pemuda tadi yang sudah asyik menikmati kacang yang ia beli dengan isapan rokok yang masih tersisa sedikit. Ternyata ibu tua penjual kacang tadi seorang Malaikat toh...kesimpulan hati seorang Achiles yang juga tak pernah mengerti sosok Malaikat yang sesungguhnya.
No comments:
Post a Comment